Kamis, 19 November 2015

Resensi Film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck








Judul Film                   : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Sutradara                     : Sunil Soraya
Tanggal Dirilis            : 19 Desember 2013
Genre                           : Roman
Pemeran Utama           : Pevita Pearce sebagai "Rangkayo" Hayati
  Herjunot Ali sebagai Zainuddin
  Reza Rahadian sebagai Aziz
Pemeran Pendukung   : Randy Danistha sebagai Muluk
  Arzetti Bilbina sebagai Ibu Muluk
  Kevin Andrean sebagai Sophian
  Jajang C. Noer sebagai Mande Jamilah
  Niniek L. Karim sebagai Mak Base
  Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto sebagai Datuk Hayati
  Gesya Shandy sebagai Khadijah
  Femmy Prety
  Dewi Agustin
Penulis Asli                 : Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
Durasi                          : 120 menit
Studio                          : Soraya Intercine Films



Sinopsis

Nusantara 1930, dari tanah kelahirannya Makasar, Zainuddin berlayar menuju tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. Diantara keindahan ranah negeri Minangkabau ia bertemu Hayati, gadis cantik jelita, bunga di persukuannya. Kedua muda mudi itu jatuh cinta. Apa daya adat dan istiadat yang kuat meruntuhkan cinta suci mereka berdua. Zainuddin hanya seorang melarat tak berbangsa, sementara Hayati perempuan Minang keturunan bangsawan.

Lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati. Hayati dipaksa menikah dengan Aziz, laki-laki kaya berbangsa yang ingin menyuntingnya. Perkawinan harta dan kecantikan mematahkan cinta suci anak manusia. Zainuddin pun memutuskan untuk berjuang, pergi dari ranah minang dan merantau ke tanah Jawa demi bangkit melawan keterpurukan cintanya. Zainudin bekerja keras membuka lembaran baru hidupnya. Sampai akhirnya ia menjadi penulis terkenal dengan karya-karya mashyur dan diterima masyarakat seluruh Nusantara.

Tetapi sebuah kenyataan kembali datang kepada diri seorang Zainuddin, di tengah gelimang harta dan kemashyurannya. Dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, suaminya. Perkawinan harta dan kecantikan bertemu dengan cinta suci yang tak lekang waktu. Pada akhirnya kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya, dalam sebuah tragedi pelayaran kapal Van Der Wijck.



Kelebihan

Film ini menyajikan kisah yang diadaptasi dari novel angkatan klasik yang dikemas dengan menarik dan tetap mempertahankan unsur-unsur ethnic yang terkandung, seperti dialog antartokoh yang menggunakan bahasa daerah. Terutama Zainuddin yang berlogat Bugis. Film ini juga menyajikan suasana khas tahun 30-an dengan menggunakan pemeran figuran asing dan didukung dengan properti seperti uang, kendaraan, dan ejaan ala tahun 30-an.  Unsur komedi dan humor juga sedikit ditaburkan pada beberapa adegan sehingga penonton tidak bosan.



Kekurangan

Penggunaan logat asli Bugis yang diperankan oleh Zainuddin memang mempertahankan ciri ethnic yang terkandung, hanya saja logat yang diucapkan terdengar kurang natural dan malah terkesan lucu. Bahkan di saat-saat sedih pun, penonton menjadi tertawa ketika mendengar logat Zainuddin. Selebihnya  sudah baik dan hampir sempurna.



Kesimpulan

Film-film sejenis ini yang diadaptasi dari novel roman angkatan 20-an, 30-an, dan angkatan lainnya memang sebaiknya diproduksi. Apalagi dengan diadaptasinya roman-roman klasik menjadi film dapat menambah wawasan masyarakat Indonesia tentang sastra Indonesia berupa roman-roman klasik – yang terkesan membosankan untuk dibaca.  Dengan dibuatnya menjadi film, justru akan lebih menarik minat masyarakat untuk mengetahui sastra Indonesia tanpa harus membaca buku roman-roman klasik yang terkadang terkendala akan bahasa dan ejaan yang tetap dipertahankan pada novel-novel klasik.


Penilaian Film


Tenggelamnya Kapal Van der wick adalah film-film yang bergenre roman  dimana sejenis ini yang diadaptasi dari novel roman angkatan 20-an, 30-an, dan angkatan lainnya memang harusnya di produksi. Film ini mengisahkan tentang cinta yang tak sampai disebabkan oleh perbadaan adat istiadat dan tidak direstui oleh orang tua. Penilaian  dari cerita ini banyak pesan moral yang tercantum, diantaranya jangan membedakan tentang adat dan budaya pada masing-masing daerah.